
Tiga Tahun Bungkam, Korban Pelecehan Seksual di RS Malang Akhirnya Angkat Suara
Seorang perempuan, korban dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama di Kota Malang, akhirnya memutuskan untuk angkat suara setelah tiga tahun bungkam. Dalam pengakuannya, korban menyebut bahwa insiden tersebut terjadi saat ia menjalani pemeriksaan medis pada tahun 2022. Saat itu, ia tidak menyangka akan mengalami perlakuan tidak pantas dari tenaga medis yang seharusnya memberikan rasa aman.
Korban menceritakan bahwa selama tiga tahun terakhir, ia hidup dalam tekanan mental dan trauma mendalam. Rasa malu, takut tidak dipercaya, hingga bayang-bayang intimidasi membuatnya memilih diam. Namun, setelah melihat kasus serupa mulai bermunculan dan banyak korban lain mulai berani bersuara, ia pun menguatkan diri untuk menyampaikan pengalamannya ke publik.
Dukungan Psikologis Jadi Kunci untuk Speak Up
Korban mengaku mulai mendapatkan dukungan emosional dari orang-orang terdekat serta bantuan pendampingan psikologis. Proses ini membantunya perlahan memulihkan diri dan menyadari bahwa berbicara bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk perjuangan mencari keadilan.
“Selama ini saya merasa bersalah, padahal saya korban. Saya sempat menyalahkan diri sendiri,” ujarnya dengan suara bergetar saat diwawancarai oleh tim pendamping.
Langkah speak up ini juga diharapkan menjadi pemicu bagi korban-korban lain yang mungkin mengalami hal serupa namun masih belum berani bicara.
Pihak Rumah Sakit dan Dokter Terduga Diperiksa
Pihak rumah sakit telah menyatakan akan bekerja sama penuh dalam proses investigasi. Sementara itu, dokter yang dilaporkan masih dalam proses pemeriksaan internal dan telah dimintai keterangan oleh pihak berwenang. Dinas Kesehatan Kota Malang juga menyatakan akan menindaklanjuti laporan ini sesuai prosedur hukum dan etika profesi medis.
Ajakan untuk Tidak Diam
Kasus ini menyoroti pentingnya sistem pengaduan yang aman dan berpihak kepada korban di lingkungan layanan kesehatan. Organisasi pendamping korban menyerukan agar rumah sakit dan institusi terkait membangun ruang aman, di mana pasien tidak hanya mendapatkan perawatan medis, tetapi juga perlindungan dari potensi kekerasan seksual.
Korban berharap suaranya bisa menjadi kekuatan bagi orang lain. “Saya tidak ingin ada lagi yang mengalami apa yang saya alami dan memilih diam seperti saya dulu.”